Thursday, August 27, 2009

Sang Raja Pop Mati Terbunuh?

Drama kematian Michael Jackson, sang Raja Pop, memang belum menyurutkan perhatian dunia. Menurut penyelidikan terakhir dari koroner Los Angeles, hasil otopsi Jackson menunjukkan bahwa ia tewas akibat overdosis obat jenis propofol, lorazepam dan midazolam yang diberikan oleh Conrad Murray, dokter pribadi Jackson. Pihak yang berwajib pun kini mengarahkan penyelidikan pada kemungkinan penetapan Murray menjadi tersangka pembunuhan.

Obat propofol yang diberikan Murray kepada Jackson merupakan obat bius keras yang biasa digunakan untuk anestesi pada saat operasi medis. Obat itu diberikan untuk mengobati penyakit insomnia yang diderita si penghibur serbabisa selama enam minggu menjelang kematiannya. Walaupun dosis yang diberikan tidak dalam tingkat berbahaya, tapi bila dicampur dengan obat-obatan lain yang juga dikonsumsi Jackson dapat menimbulkan gangguan pernapasan yang dapat berujung fatal.

Jenazah Jackson sendiri sampai kini belum dikebumikan. Pada awalnya rencana pemakamannya akan dilakukan pada tanggal 29 Agustus 2009, bertepatan dengan ulang tahun ke 50-nya, tapi kini diundur ke tanggal 3 Septemer. Upacara pemakamannya bersifat tertutup dan hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat dekat.

Seperti diketahui, Michael Jackson sebenarnya telah dijadwalkan tampil dalam konser comebacknya yang tidak tanggung-tanggung akan digelar 50 kali mulai 8 Juli 2009 hingga 6 Maret 2010 di O2 Arena, London. Selepas batalnya konser tersebut, pihak promoternya yaitu AEG akan menayangkan film yang berisikan adegan latihan-latihan Jackson untuk konser tersebut, yang konon mendekati spektakulernya dengan konser itu sendiri. Film itu juga akan dilengkapi adegan di belakang layar persiapan konser dan wawancara dengan orang-orang yang terlibat.

Friday, January 9, 2009

Izinkan Aku Menciummu Ibu

Sewaktu masih kecil, aku sering merasa dijadikan pembantu olehnya.
Ia selalu menyuruhku mengerjakan tugas-tugas seperti menyapu lantai dan mengepelnya setiap pagi dan sore.
Setiap hari, aku dipaksa membantunya memasak di pagi buta sebelum ayah dan adik-adikku bangun.
Bahkan sepulang sekolah, ia tak mengizinkanku bermain sebelum semua pekerjaan rumah dibereskan.
Sehabis makan, aku pun harus mencucinya sendiri juga piring bekas masak dan makan yang lain. Tidak jarang aku merasa kesal dengan semua beban yang diberikannya hingga setiap kali mengerjakannya aku selalu bersungut-sungut.


Kini, setelah dewasa aku mengerti kenapa dulu ia melakukan itu semua.
Karena aku juga akan menjadi seorang istri dari suamiku, ibu dari anak-anakku yang tidak akan pernah lepas dari semua pekerjaan masa kecilku dulu.
Terima kasih ibu, karena engkau aku menjadi istri yang baik dari suamiku dan ibu yang dibanggakan oleh anak-anakku.


Saat pertama kali aku masuk sekolah di Taman Kanak-Kanak, ia yang mengantarku hingga masuk ke dalam kelas.
Dengan sabar pula ia menunggu.
Sesekali kulihat dari jendela kelas, ia masih duduk di seberang sana.
Aku tak peduli dengan setumpuk pekerjaannya di rumah, dengan rasa kantuk yang menderanya, atau terik, atau hujan.
Juga rasa jenuh dan bosannya menunggu. Yang penting aku senang ia menungguiku sampai bel berbunyi.


Kini, setelah aku besar, aku malah sering meninggalkannya, bermain bersama teman-teman, bepergian.
Tak pernah aku menungguinya ketika ia sakit, ketika ia membutuhkan pertolonganku disaat tubuhnya melemah.
Saat aku menjadi orang dewasa, aku meninggalkannya karena tuntutan rumah tangga.


Di usiaku yang menanjak remaja, aku sering merasa malu berjalan bersamanya.
Pakaian dan dandanannya yang kuanggap kuno jelas tak serasi dengan penampilanku yang trendi.
Bahkan seringkali aku sengaja mendahuluinya berjalan satu-dua meter didepannya agar orang tak menyangka aku sedang bersamanya.


Padahal menurut cerita orang, sejak aku kecil ibu memang tak pernah memikirkan penampilannya, ia tak pernah membeli pakaian baru, apalagi perhiasan.
Ia sisihkan semua untuk membelikanku pakaian yang bagus-bagus agar aku terlihat cantik, ia pakaikan juga perhiasan di tubuhku dari sisa uang belanja bulanannya.
Padahal juga aku tahu, ia yang dengan penuh kesabaran, kelembutan dan kasih sayang mengajariku berjalan. Ia mengangkat tubuhku ketika aku terjatuh, membasuh luka di kaki dan mendekapku erat-erat saat aku menangis.


Selepas SMA, ketika aku mulai memasuki dunia baruku di perguruan tinggi.
Aku semakin merasa jauh berbeda dengannya.
Aku yang pintar, cerdas dan berwawasan seringkali menganggap ibu sebagai orang bodoh, tak berwawasan hingga tak mengerti apa-apa.
Hingga kemudian komunikasi yang berlangsung antara aku dengannya hanya sebatas permintaan uang kuliah dan segala tuntutan keperluan kampus lainnya.


Usai wisuda sarjana, baru aku mengerti, ibu yang kuanggap bodoh, tak berwawasan dan tak mengerti apa-apa itu telah melahirkan anak cerdas yang mampu meraih gelar sarjananya.
Meski Ibu bukan orang berpendidikan, tapi doa di setiap sujudnya, pengorbanan dan cintanya jauh melebihi apa yang sudah kuraih.
Tanpamu Ibu, aku tak akan pernah menjadi aku yang sekarang.


Kelak pada hari pernikahanku, ia akan menggandengku menuju pelaminan.
Ia tunjukkan bagaimana meneguhkan hati, memantapkan langkah menuju dunia baru itu.
Sesaat kupandang senyumnya begitu menyejukkan, jauh lebih indah dari keindahan senyum suamiku. Usai akad nikah, ia langsung menciumku saat aku bersimpuh di kakinya.
Saat itulah aku menyadari, ia juga yang pertama kali memberikan kecupan hangatnya ketika aku terlahir ke dunia ini.


Kini setelah aku sibuk dengan urusan pekerjaanku, aku tak pernah lagi menjenguknya atau menanyai kabarnya.
Sungguh, kini setelah aku memiliki hidup sendiri, aku baru tahu bahwa segala kiriman uangku setiap bulannya tak lebih berarti dibanding kehadiranku untukmu.
Aku akan datang dan menciummu Ibu, meski tak sehangat cinta dan kasihmu kepadaku.


thanks to...Bayu Gautama, Untuk Semua Ibu Di Seluruh Dunia

Thursday, November 13, 2008

My Blueberry

how do you say goodbye to someone you can't imagine living without
i didn't say goodbye, i didn't say anything, i just walk away
at the end of that night, i decided to take the longest way to cross that street

for me leaving this moment is like dying
i wondered how people would remember me
when you're gone all left behind are the memories
created another people's life or just couple items on the bill

enclose lola i created for you and memory of our time together
i wonder how you remember me
as a girl who likes blueberry pies
or just a girl with broken heart

in the last few days, i've been learning how not to trust other people
and i'm glad i failed
sometimes we depend on other people as a mirror
to define us and tell us who we are
and its reflection makes me like myself a little more Lola

it took me nearly a year to get here
it wasn't so hard to cross the street after all
it all depends on who's waiting for you on the other side


thanks to "My Blueberry nights" that's very inspiring and jude law for being very goodlooking. dedicated for someone who broke my heart and someone who cured it and broke it again.

Thursday, November 6, 2008

Manage The Expectation


Dalam sebuah "kencan" dengan teman lama, sebuah pertanyaan dilontarkan kepada saya,
"Lo bisa sms sambil ngomong engga?"
"Bisa"
"Tapi elo engga berenti ngomong ama gue dan tetep nge-SMS?"
"Iya kalo di HP yang biasa (maksudnya bukan HP dengan keyboard qwerty)"
"Gue engga bisa loh"
"Oh iya, cowok emang engga ada yang bisa kayak gitu"

Pertanyaan itu terlontar berdasarkan sebuah alasan simple...dia sering diomelin ama cewek gara-gara engga bales SMS dengan alasan lagi meeting. Saya, setelah melewati beberapa pengalaman yang kurang lebih sama, sudah mulai bisa memahami bahwa spesies yang namanya laki-laki itu tidak bisa membagi pikirannya ketika sedang melakukan sebuah kegiatan a.k.a multitasking. Kalo lagi meeting ya meeting, kalo lagi nyetir ya nyetir, kalo lagi SMS ya SMS. Sementara perempuan (dan saya termasuk yang sering melakukannya) bisa nyetir, sambil dandan, sambil ngetik SMS, dalam satu waktu yang bersamaan. Setelah saya berhasil memahami itu, saya sudah mulai bisa menerima keadaan ketika seorang laki-laki baru membalas SMS saya berjam-jam kemudian, hanya karena dia sedang bersama orang lain. Ternyata cara berpikir ini bukan cuma menghemat energi berantem dan jengkel, tapi juga membuat hidup saya jadi lebih ringan. Teman saya bahkan sampai merengek, meminta saya menulis di blog dan memberitahukan kepada semua cewek di dunia tentang hal ini (hehehe).

Pada akhirnya, dua spesies yang namanya laki-laki dan perempuan itu memang berbeda...bukan cuma fisik, tapi sampai ke kebiasaan terkecil apalagi jalan berpikir. Masalah tidak akan pernah selesai apabila kita terus berharap suatu hari dia akan mau melakukan hal yang kita inginkan ataupun sesuai dengan keinginan kita.
Kesimpulannya, lakukan segala sesuatu untuk pasangan kita dengan niat untuk membahagiakan dia. Tanpa perlu berharap bahwa dia akan membalas dengan perlakuan yang sama manisnya, apalagi lebih.
Kedua, mengatur ekspektasi kita. Kalau teori teman saya..."choose one, take a deep breath and stay there". Karena tidak ada manusia yang sempurna sementara semua manusia menuntut kesempurnaan.

Kalau teori saya..."choose the right one, put a smile on your face and face it". Nampak sama, tapi sedikit beda menurut saya...yang terletak pada kerelaan dalam menjalankannya (kira-kira setuju engga man? hehehe)

Wednesday, October 22, 2008

Geisha's History

Geisha have their roots in female entertainers such as the Saburuko of the 7th century and the Shirabyoshi, who emerged around the early 13th century. They would perform for the nobility and some even became concubines to the emperor. It was in the late 16th century that the first walled-in pleasure quarters were built in Japan. Like so many aspects of Japanese culture, they were modelled after those of Ming Dynasty China. After they were relocated in the mid-1600s, they became known as Shimabara (after a fortress in Kyushu).

Meanwhile a marshy patch of land (Yoshi-wara) in Edo had been designated as the site for a brothel district under the auspices of the Tokugawa shogunate. Brothels and the like were not allowed to operate outside the district and strict rules were applied. Included among these were that no customers were allowed to stay in a brothel more than 24 hours; courtesans were to wear simple dyed kimonos; and any suspicious or unknown visitors were to be reported to the Office of the City Governor.

With Japan enjoying a long-awaited period of peace following centuries of civil war, many samurai found that society no longer had such need of their services. It's thought that many daughters of these formerly noble families became courtesans, with the result that quarters such as Yoshiwara and Shimabara were places of refinement and culture. Peace also brought an increase in prosperity and the rise of the merchant class, or chonin. Add that to the presence of artists and an atmosphere free of the strictures of the outside world, and it truly was something of an adult amusement park, with culture thrown in for good measure.

Within the hanamichi there were many different classes of courtesans, and over the decades the hierarchy and the standards expected of them changed many times, not always for the better. The situation deteriorated in the mid-18th century to the extent that a new form of entertainer emerged in Kyoto and Osaka. The earliest geiko were men, while the first females, who appeared shortly after, were odoriko (dancers) or played the shamisen. Female geisha soon became popular enough to be able to steal clients from the courtesans, and in the case of Yoshiwara it was decided to start a kenban, or registration system, to keep them under control and force them to pay taxes. It strictly controlled their dress, behaviour and movements and was considered so successful that it quickly became the norm at hanamichi across Japan.

These strict rules in fact allowed the geisha to flourish as artists and entertainers. Though more simply dressed than the courtesans, they became regarded as fashion leaders. But many aspects of the lifestyle itself were less glamorous. Young girls were sold into the geisha life by their families until the mid-20th century and were often subject to the ritual of 'mizu-age,' whereby their virginity was sold to the highest bidder. Such practices were eradicated after World War II and the geisha profession went into a steady decline. Today, if geisha are hired to entertain at a private party outside the upper eschelons of society, they are most likely to be seasoned veterans, more akin to your favorite aunt or even grandmother than the girl next door.